(SIDOARJOterkini)- Dwi Noertjahyo alias Agustinus Dwi Noertjahyo, warga Jalan Merbabu, Malang diganjar hukuman 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo Senin (7/12/2015). Terdakwa juga diwajibkan membayar denda, total sebesar Rp
454.440.954.
Bos PT Kencana Menggala Prasada dan PT Kencana Manggala Prima itu dinyatakan bersalah
telah mengemplang pajak sekitar Rp 2,8 miliar.
Terdakwa Noertjahyo dijerat dengan dua dakwaan berbeda, yang
berbeda pula nomor perkaranya. Yakni perkara nomor
269/Pidsus/2015/PN.Sda dan perkara nomor 270/Pidsus/2015/PN.Sda. Untuk
perkara nomor 269, Noertjahyo diganjar hukuman penjara selama 1 tahun
serta denda sebesar Rp 276.493.270. Vonis penjara selama 1 tahun juga
dijatuhkan untuk perkara nomor 270. Perbedaan hanya pada hukuman denda
yang ditetapkan sebesar Rp 177.947.684. Sehingga total hukuman yang
harus dijalani Noertjahyo adalah penjara selama 2 tahun potong masa
tahanan, serta denda total sebesar Rp 454.440.954.
Terdakwa Noertjahyo didakwa melanggar
sejumlah peraturan yang unsur-unsur perbuatannya dibagi dalam empat
dakwaan. Mulai unsur sengaja tidak menyampaikan SPT hingga unsur
kerugian negara.
Melalui amar putusan yang dibacakan bergantian, majelis hakim PN Sidoarjo yang diketuai H Zaeni SH akhirnya
menegaskan, bahwa terdakwa Noertjahyo dinyatakan memenuhi seluruh
unsur yang didakwakan.
Noertjahyo ternyata tak terima dengan putusan ini.
Setelah berkonsultasi dengan tim kuasa hukumnya yang dimpimpin Dr Ir
Yudi Wibowo Sukianto SH MH, Lansia berusia 69 tahun itu akhirnya
menyatakan banding. “Kami menyatakan banding Pak Hakim,” ujarnya.
Sedangkan Yudi Wibowo mengaku terpaksa menempuh upaya
banding lantaran menilai kliennya tak layak diganjar hukuman seberat
itu. Ia berdalih, kliennya bukanlah pengemplang pajak. Noertjahyo
sebenarnya sudah berupaya memenuhi kewajibannya, lantaran sudah
membayar pajak melalui seorang oknum pegawai kantor pajak bernama
Bambang Widodo Sulistio Budi. Meski, uang pembayaran itu ternyata
tidak disetorkan Bambang yang kemudian diketahui sebagai bagian mafia
yang beroperasi di kantor pajak. “Jadi klien kami sebenarnya adalah
korban,” ujarnya.
Yudi Wibowo juga menyoal besaran denda yang ditetapkan
hakim kepada Noertjahyo. Ia menegaskan, denda itu tidak sah, lantaran
muncul dari hitung-hitungan majelis hakim. Ia menegaskan, Hakim tak
berwenang menghitung nilai denda. “Yang berwenang menghitung denda
adalah akuntan publik, bukan hakim,” tandasnya.
Kasus ini bermula dari pengaduan masyarakat yang menyebutkan Dwi
Noertjahyo diduga menggelapkan setoran pajak pertambahan nilai (PPN).
Laporan ini kemudian ditindaklanjuti pihak Kanwil Dirjen Pajak (DJP)
Jatim II yang akhirnya mengetahui bahwa Noertjahyo memang belum
melaksanakan sejumlah kewajiban sebagai Wajib Pajak (WP). Diantaranya,
tidak melaporkan SPT Tahunan, PPh Badan, dan SPT Masa PPN. Tapi
anehnya, meski tidak melaporkan SPT pada tahun 2008, ternyata di tahun
itu ada penyerahan omzet
Akibat pelanggaran ini, pihak KPP Pratama akhirnya mengeluarkan
himbauan kepada lelaki 69 tahun tersebut, yang selanjutnya melakukan
pemeriksaan lapangan untuk tahun pajak 2007 dan 2008. Tapi saat
pemeriksa meminta peminjaman buku, catatan, dan dokumen, Noertjahyo
ternyata menolak memberikan. Sikap ini memaksa pemeriksa memberikan
Surat Peringatan Kesatu yang disusul Surat Peringatan Kedua. Namun
Noertjahyo tetap saja tak mau memberi data-data yang dibutuhkan.
Sikap mokong Noertjahyo ini membuat pemeriksa menaikkan tahapan ke
pemeriksaan bukti permulaan. Dari tahapan itu akhirnya terungkap jika
Noertjahyo melakukan pembelian sepeda motor dari main dealer wilayah
Jawa Timur (PT Mitra Pinasthika Mustika Surabaya) pada tahun 2007 dan
tahun 2008, dengan total transaksi sebesar Rp 11.597.024.473. Namun
Noertjahyo tidak melaporkan pembelian ini, bahkan tidak membayar
kewajiban PPN-nya. (st-12)