
SIDOARJO- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktifitas menangani lumpur. Warga korban lumpur melarang penangan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.
Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur semakin hari makin kritis karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh. Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktifitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.
Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.
Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan. Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).
Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA. Korban lumpur mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.
Sampai saat ini, Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp 786 Miliar.
Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp 3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75 persen berkas sudah lunas pembayarannya.
Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp 8 triliun. Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp 5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp 3 triliun. (st-12)