SIDOARJO TERKINI
Headline Indeks Politik & Pemerintahan

DPRD Sidoarjo Dorong Pemerintah Fokus Penanganan Anak Tidak Sekolah

 

SIDOARJOterkini — Di tengah pesatnya pembangunan dan geliat industri di Kabupaten Sidoarjo, sebuah ironi sosial mencuat dari balik kemajuan itu: ribuan anak masih tercatat sebagai Anak Tidak Sekolah (ATS). Mereka adalah generasi muda yang seharusnya menikmati hak dasar untuk belajar, namun justru terpinggirkan oleh keadaan.

Fenomena ini menjadi perhatian serius DPRD Kabupaten Sidoarjo, yang menilai kondisi tersebut sebagai “darurat pendidikan”. Para wakil rakyat mendesak pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud), agar segera mengambil langkah konkret dan terukur untuk menuntaskan persoalan yang telah berlangsung bertahun-tahun ini.

Data Dinamis, Tantangan Serius Dunia Pendidikan

Wakil Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo, Bangun Winarso, menegaskan pentingnya tindakan nyata dari pemerintah daerah untuk menekan angka ATS. Berdasarkan data internal Dinas Pendidikan, jumlah ATS di Sidoarjo tercatat 2.577 anak. Namun angka ini dinilai masih bersifat dinamis karena berbagai faktor di lapangan.

H. Bangun Winarso Wakil.Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo

“Data ATS ini selalu bergerak. Ada yang pindah domisili, menikah, menolak kembali bersekolah, terkendala ekonomi, bahkan ada yang meninggal dunia,” ujar Bangun, Senin (27/10/2025).

Menurutnya, data tersebut mencakup anak-anak berusia hingga 21 tahun. Kondisi ini, kata Bangun, menjadi tantangan serius bagi pemerintah daerah karena pendidikan adalah fondasi pembangunan manusia yang berkelanjutan.

“Dikbud harus melakukan verifikasi dan validasi (verval) data secara berkala. Setelah data valid, perlu ada tindak lanjut nyata berupa program yang benar-benar bisa menekan angka ATS,” tegasnya.

Bangun juga menyoroti adanya kesenjangan antara data lokal dan data nasional. Berdasarkan data Kemendikbudristek, jumlah ATS di Sidoarjo mencapai lebih dari 10 ribu anak jauh di atas angka yang dimiliki pemerintah daerah. Ia menduga data kementerian tersebut merupakan akumulasi dari beberapa tahun sebelumnya dan perlu dimutakhirkan agar sesuai dengan kondisi terkini.

“Dinas Pendidikan harus aktif melakukan tracing dan updating data. Tidak cukup hanya mencatat, tapi juga memperkuat sistem pembelajaran, kualitas tenaga pendidik, serta memberikan insentif bagi guru di lembaga non formal,” tandasnya.

BACA JUGA :  TMMD ke-126 Kodim 0816 Sidoarjo Resmi Ditutup, TNI - Rakyat Sukses Hadirkan Infrastruktur Baru di Kedondong

PKBM, Ujung Tombak Pendidikan Kedua

Salah satu solusi yang disoroti DPRD adalah penguatan peran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai ujung tombak pendidikan nonformal. PKBM menjadi tumpuan bagi anak-anak dan masyarakat yang tidak bisa menempuh jalur pendidikan formal karena kendala ekonomi, sosial, atau geografis.

PKBM tidak hanya memberikan layanan pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C, tetapi juga menawarkan pelatihan keterampilan hidup seperti menjahit, memasak, servis elektronik, hingga budidaya ternak. Dengan pendekatan ini, pendidikan di PKBM bukan sekadar soal ijazah, tetapi juga pemberdayaan masyarakat.

“PKBM bukan sekadar tempat belajar, tetapi pusat pemberdayaan. Kalau dikelola serius dan didukung penuh, ini bisa menjadi solusi efektif untuk menekan angka anak tidak sekolah di Sidoarjo,” jelas Bangun.

Ia mendesak agar pemerintah memberikan dukungan pendanaan, tenaga pengajar, serta sarana dan prasarana yang memadai, agar PKBM bisa menjalankan fungsinya secara maksimal. Tanpa dukungan yang kuat, menurutnya, PKBM akan kesulitan menjadi alternatif pendidikan yang berkualitas.

Perlu Satgas ATS di Tiap Kecamatan

Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo Wahyu Lumaksono S.Pd

Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo, Wahyu Lumaksono, S.Pd juga menyoroti hal serupa. Ia menilai persoalan ATS tidak bisa diselesaikan hanya dengan data administratif di meja kantor, melainkan membutuhkan pendekatan lintas sektor dan berbasis lapangan.

“Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pendataan ulang dan verifikasi detail di lapangan. Pemerintah perlu memastikan siapa saja anak-anak yang masuk kategori ATS, apa penyebabnya, dan bagaimana kondisi sosial-ekonominya,” ujarnya.

Menurut hasil penelusuran DPRD, penyebab anak tidak sekolah di Sidoarjo sangat beragam: mulai dari kemiskinan, rendahnya minat belajar, pernikahan dini, hingga mobilitas penduduk yang tinggi. Karena itu, Wahyu menilai pendataan akurat menjadi kunci utama dalam menentukan arah kebijakan.

Untuk memperkuat penanganan, ia mengusulkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) ATS di setiap kecamatan. Satgas ini berperan sebagai garda terdepan yang bertugas melakukan pendampingan, pemantauan, serta menjembatani koordinasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat.

“Satgas ini harus aktif turun ke lapangan. Mereka bisa membantu melacak anak-anak putus sekolah dan mengarahkan mereka ke program kesetaraan seperti PKBM atau Sanggar Kegiatan Belajar (SKB),” jelas Wahyu.

BACA JUGA :  Perkuat Sinergi, Bupati Sidoarjo Terima Kunjungan Dankodaeral V TNI AL di Pendopo Delta Wibawa

Faktor Ekonomi dan Kesadaran Pendidikan Jadi Sorotan

Selain faktor kelembagaan, kendala ekonomi menjadi penyebab utama banyak anak di Sidoarjo putus sekolah. Tak sedikit keluarga yang tidak mampu membiayai kebutuhan dasar pendidikan seperti seragam, buku, atau transportasi.

“Banyak anak berhenti sekolah bukan karena tidak mau, tapi karena orang tuanya tidak mampu membeli perlengkapan. Pemerintah harus hadir melalui bantuan pendidikan, beasiswa, atau subsidi khusus bagi keluarga miskin,” kata Wahyu.

Ia juga menekankan pentingnya sosialisasi dan kampanye kesadaran pendidikan melalui kolaborasi dengan tokoh masyarakat, lembaga keagamaan, dan media lokal. Kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan harus dibangun di seluruh lapisan masyarakat.

Bahkan, DPRD mengusulkan adanya program Duta Pendidikan, yakni pelajar aktif yang berperan menginspirasi teman sebaya agar tidak putus sekolah.

“Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dengan data valid, program tepat sasaran, dan dukungan semua pihak, Sidoarjo bisa menekan angka ATS secara signifikan,” tegasnya optimistis.

Alarm Serius untuk Masa Depan Generasi Muda

Senada dengan rekan-rekannya, Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo, Tarkit Erdianto, juga menganggap persoalan ATS sebagai alarm keras bagi dunia pendidikan daerah. Menurutnya, ribuan anak yang tidak sekolah menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pendidikan.

Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo H. Tarkit Erdianto, SH, MH

“Menyikapi hal itu, kami akan kroscek kembali kebenaran data tersebut ke OPD terkait. Dalam waktu dekat kami akan memanggil Dinas Pendidikan dan pihak-pihak terkait untuk memberikan klarifikasi,” ujarnya.

Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu menegaskan, DPRD akan memastikan agar Pemkab tidak berhenti pada pendataan, tetapi benar-benar membuat kebijakan berbasis solusi.

“Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Kami akan menjadi garda terdepan dalam mengawal dan menyelamatkan generasi muda agar tidak kehilangan haknya untuk belajar,” ucap Tarkit.

Ia juga mendesak agar dilakukan pendataan ulang secara menyeluruh untuk mengetahui akar persoalan ATS apakah disebabkan faktor ekonomi, sosial, atau hambatan akses pendidikan.

BACA JUGA :  Tancap Gas, PGN Mulai Bangun Titik Injeksi Biomethane di Pagardewa

Keprihatinan terhadap banyaknya anak tidak sekolah di Sidoarjo juga disuarakan kalangan pegiat pendidikan. Aktivis pendidikan lokal, Badruzaman, menyebut kondisi ini sebagai darurat pendidikan yang harus segera ditangani lintas sektor.

“Lebih dari sepuluh ribu anak di Sidoarjo kehilangan hak dasarnya untuk belajar. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi tragedi sosial yang mengancam masa depan bangsa,” ujarnya, Jumat (24/10/2025).

Data dari Verval ATS Pusdatin Kemendikbudristek 2025 menunjukkan terdapat 10.457 anak di Sidoarjo yang berstatus tidak sekolah. Dari jumlah tersebut, 41% belum pernah mengenyam pendidikan, 34% putus sekolah di tengah jalan, dan 25% berhenti setelah lulus tanpa melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Tiga kecamatan dengan jumlah ATS tertinggi yakni Taman (1.203 anak), Waru (1.112 anak), dan Sidoarjo (964 anak) — menyumbang hampir 40 persen dari total ATS di seluruh kabupaten. Sebagian besar berasal dari keluarga berpenghasilan rendah atau bekerja membantu orang tua di sektor informal.

“Kalau situasi ini dibiarkan, kita sedang menciptakan bom waktu sosial. Anak-anak ini bisa kehilangan masa depan, dan dampaknya akan terasa di masa mendatang,” ujar Badruzaman.

Membangun Pendidikan Inklusif dan Berkeadilan

Fenomena ATS di Sidoarjo menjadi potret ketimpangan di balik kemajuan ekonomi daerah. Di satu sisi, Sidoarjo terus berkembang sebagai kawasan industri strategis. Namun di sisi lain, masih banyak anak yang tertinggal dari arus pembangunan.

Menurut para anggota DPRD, keberhasilan pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga dari kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan melalui pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.

Pemerintah daerah bersama DPRD berkomitmen untuk memperkuat koordinasi lintas sektor — melibatkan Dinas Sosial, Dinas Ketenagakerjaan, Dispendukcapil, serta lembaga masyarakat agar penanganan ATS bisa lebih komprehensif.

“Tidak ada anak yang boleh tertinggal dari pendidikan. Sidoarjo harus maju bukan hanya secara ekonomi, tapi juga unggul dalam kualitas manusianya,” pungkas Bangun Winarso.(ADV/cles)